Gabung Ke Forum Saya Di 4KA01

Dekat di Bibir, Jauh di Hati




Tradisi selalu ada dalam setiap tempat di segala waktu. Tradisi itu tumbuh dan berkembang dalam komunitas suatu masyarakat. Tradisi, ada yang bernilai positif. Namun, ada pula yang negatif. Mungkinkah kita dapat hidup dalam tradisi dan perintah Allah secara bersamaan?

Setiap tempat di bawah kolong langit ini pasti punya tradisi. Tradisi itu menunjuk pada daerah atau suku tertentu. Pada 2004, ketika melayani di salah satu suku di luar Pulau Jawa, di sana ada tradisi unik. Untuk menghormati tamu, sajian utama adalah minum tuak. Minuman itulah yang pertama kali menyambut tamu yang mampir di suku tersebut. Tuak adalah minuman beralkohol yang terbuat dari nira aren. Masih segar di ingatan saya, ketika baru pertama sampai di daerah itu, lalu disuguhkanlah segelas tuak. Padahal, minuman itu paling tidak saya sukai. Penduduk setempat biasa menyebutnya “susu”. Ketika saya menolak meminumnya, mereka marah besar. Bagi mereka, penolakan itu adalah penghinaan. Para petinggi di suku tersebut merasa dilecehkan dengan tindakan saya. Telah menjadi kebiasaan, setiap kali tamu berkunjung ke suku itu, ritual minum tuak harus dijalani. Bahkan, sejak kecil, minum tuak sudah membudaya. Tanpa sungkan, di hadapan saya, seorang ayah meminumkan tuak kepada anaknya yang masih balita. Bagi saya, tindakan itu tidak baik. Namun, bagi mereka, hal itu sudah biasa.
5 PENDEKATAN
Budaya adalah bagian yang melekat kuat dalam hidup manusia. Sesungguhnya, ada budaya yang baik, tapi ada pula yang melawan firman Tuhan. Dalam Christ and Culture, Richard Niebuhr menawarkan lima pendekatan terhadap budaya. Pertama, Christ against culture (Kristus menentang budaya, red). Pemahaman ini mengatakan bahwa Kristus menghancurkan seluruh kebudayaan dalam dunia ini. Mengapa dihancurkan? Karena semua kebudayaan dipandang salah dan jahat. Pemahaman ini, membuat orang Kristen tidak bisa hidup di tengah dunia ini. Alkitab pun tidak pernah mengajarkan kita agar melawan atau anti budaya.  

Kedua, Christ of Culture. Pendekatan ini menekankan agar budaya diisi dengan hal-hal yang kristiani. Dengan demikian, budaya menjadi milik Kristus pada zaman ini. Bila demikian pemahamannya, maka orang akan puas dengan atribut atau asesori rohani. Akibatnya, budaya duniawi yang dianggap baik, akan dilabeli dengan agama.  

Ketiga, Christ above Culture (Kristus di atas budaya, red). Pemahaman ini pun kurang tepat. Mengapa? Kita mendapatkan kesan seolah-olah Kristus hanya hidup dalam satu budaya tertentu yang mengatasi semua budaya lain. Implikasinya, semua budaya yang ada harus mengikuti satu budaya tertentu. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu terjadi?  
Keempat, Christ and Culture in Paradox (Kristus dan budaya dalam suatu pertentangan, red).
Menurut pemahaman ini, budaya berada dalam dua dunia. Kristus punya budaya sendiri. Dunia juga punya budaya sendiri. Kedua budaya ini berjalan secara bersamaan. Keduanya tidak saling mengganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan oleh para penganut posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia. Dan,  

terakhir, Christ Transform Culture (Kristus mentransformasi budaya, red). Di antara kelima konsep Richard Niebuhr, konsep kelima ini yang banyak diikuti orang. Menurut pemahaman ini, Kristus datang untuk mentransformasi budaya. Artinya, budaya itu tidak salah, hanya saja budaya perlu ditransformasi. Masalahnya, mungkinkah budaya dapat ditransformasi? Banyak ahli meragukannya. Namun, sebagian teolog berpendapat bahwa budaya bukan hanya ditransformasi. Yang Kristus kerjakan adalah Christ Redeem Culture (Kristus menebus budaya, red).

NIPTO
Dalam Injil Matius 15:1-20 dan Markus 7:1-23, Yesus ditegur keras oleh para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka secara khusus datang dari Yerusalem untuk menegur Tuhan Yesus. Pokok pembicaraan utama yang dimasalahkan adalah hal membasuh tangan. Menurut tradisi waktu itu, membasuh tangan, maknanya adalah menyatakan penghormatan tertinggi kepada Allah. Markus mencatat, orang-orang Farisi— orang-orang Yahudi tidak makan sebelum membasuh tangan (Mrk. 7:3). Hal ini dimaksudkan sebagai wujud penghormatan terhadap Allah. Ketika para murid Yesus makan tanpa membasuh tangan, bagi orang Yahudi ini masalah serius. Dianggap serius karena melanggar adat istiadat leluhur mereka. Nah, sekarang yang menjadi masalah, ide ini tidak bersumber dari Allah. Ide ini hanyalah adat istiadat, tradisi turun temurun. Bagaimana reaksi Yesus? Yesus pun menuduh mereka telah melanggar perintah Allah demi adat istiadat. Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (Mat. 15:3). Terlihat jelas, menempatkan adat istiadat di atas firman Allah, bagi Yesus, ini adalah pelanggaran terhadap perintah Allah.
Istilah membasuh berasal dari kata Yunani niptw/nipto. Istilah ini berarti to cleanse (especially the hands or the feet or the face). Maksudnya, membersihkan (secara khusus tangan, kaki, atau wajah). Jika ditinjau dari sisi medis, sebenarnya membasuh tangan sebelum makan sangat logis. Mungkin ada kuman, bakteri, atau virus yang menempel di tangan. Maka, sebelum makan harus dicuci terlebih dahulu. Namun, bila tradisi ini dikaitkan sebagai ritual menghormati Allah, tentu menjadi perkara lain yang sama sekali berbeda.
Tidak heran jika Tuhan Yesus bereaksi keras terhadap budaya seperti ini. Bila kita hubungkan dengan teori Richard Niebuhr di atas, ini tergolong dalam Christ against culture. Mengapa Yesus berlaku demikian? Pasti karena orang-orang Farisi dan ahli Taurat menempatkan adat istiadat di atas firman Tuhan. Kondisi seperti inilah yang ditentang Kristus. Bila adat istiadat “diagamakan”, padahal itu hanyalah tradisi, pasti mengundang murka Tuhan.

MUNAFIK
Tidak tanggung-tanggung. Bak halilintar yang menyambar di siang hari. Yesus langsung menyebut orang-orang Farisi dan ahli Taurat sebagai orang munafik. Bagi Yesus, mereka hanyalah orang-orang yang memuliakan Allah dengan bibir tapi hati jauh dari Tuhan. Yesus berkata, Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku (Mrk. 7:6). Rupanya Yesus sedang mengajarkan agar mereka tidak hanya memuliakan Allah dengan tampilan luar. Namun, Yesus menghendaki mereka memuliakan Allah dengan hati. Hati adalah pusat segalanya. Karena itulah, penulis Amsal mengingatkan agar menjaga hati. Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan (Ams. 4:23).
Yesus juga mengecam orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang rajin beribadah. Namun, ibadah mereka tidak didasarkan pada perintah Allah. Mereka beribadah menurut tradisi nenek moyang mereka. Selain itu, sebagai tokoh agama, mereka tidak mengajarkan firman Allah. Sebaliknya, mengajarkan perintah manusia. Lalu, dengan tegas Yesus berkata, “Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia.” (Mat. 15:9). Tidak ada artinya ibadah yang dibangun atas tradisi nenek moyang. Mengapa? Karena Allah adalah Allah yang cemburu. Dia, Allah yang tidak mau diduakan (Nah. 1:2).
Bila kita mengasihi Allah hanya di bibir, pasti tidak mendatangkan berkat. Paling-paling terima pujian manusia, karena kita terlihat lebih rohani. Namun, Kristus meminta, kita mengasihi-Nya melebihi apa pun. Karena itu, jangan mengasihi Allah hanya dengan tampilan luar, tapi dengan segenap hati dan kekuatan (Mat. 22:37-39).


0 Komentar: